BERKACA PADA SISWA



Suka atau tidak, Ujian Nasional (UN) telah menggerogoti pendidikan kita berpuluh-puluh tahun. Secara sadar atau tidak kebanyakan kita justru menikmatinya, alih-alih berusaha mengoreksi.

Coba telisik, haluan pemerintahan senantiasa berubah. Namun keputusan untuk menyamaratakan penilaian akhir setiap individu siswa selalu kokoh diemban siapa pun pemegang kendalinya. Padahal kita tahu kualitas pendidikan semua sekolah juga belum sama rata.

Kemajuan pendidikan Indonesia menjadi sebuah utopia yang nyaris, bahkan selalu, berakhir hampa. Ini bukan berarti UN tidak menghasilkan apa pun. Tapi dampaknya mengandung dan mengundang lebih banyak hal-hal negatif, ketimbang yang baik. Kelancungan, pengabaian kemampuan siswa, ketimpangan, dan masih banyak lagi permasalahan lain yang tiap tahun terjadi. Jangan ditanya bukti, sudah terlalu banyak contoh yang terkuak, dan itu bisa jadi sudah tidak menjadi bukti.

Akan tetapi, ada dampak yang tidak kalah membahayakan dan kita acap kali lalai menyadarinya, yaitu bahwa kita terlena dengan UN, seolah UN adalah kunci satu-satunya keberhasilan pendidikan. Jika sudah seperti ini, kita kadung mencintai UN dan yang sejenis dengannya. Hal ini dapat merusak persepsi terhadap pendidikan yang penuh dinamika.

Dalam pembelajaran tidak ada yang bisa memastikan cara apa yang terbaik agar siswa dapat mengetahui, merasakan, melihat, mengingat, menerapkan, dan menghubungkan suatu hal. Membuat klaim seperti itu sama saja dengan meremehkan proses pembelajaran. (Postman, 1995). Ini berarti tidak ada garansi akan metode apa saja yang disusun, terlebih sistem penilaian yang pelik macam UN.

Keberhasilan pendidikan yang dibicarakan juga menuai banyak perdebatan. Pendidikan dan proses yang terjadi di dalamnya berjalan sangat kompleks. Aktivitas pembelajaran pun tidak baku dan terus menerus mengalami improvisasi. Jika pendidikan itu sendiri masih menjadi pokok bahasan yang diperbincangkan, lalu siapa kita berani menentukan derajat keberhasilan suatu pendidikan?

Dinas pendidikan, sekolah, orang tua, guru, dan siswa sudah terbiasa dengan nilai dan angka-angka. Pencapaian seorang siswa diukur seberapa tinggi nilai yang ia perolah. Ironisnya, usaha untuk mencapai standar tersebut menjadi semacam patokan, baik oleh pihak sekolah maupun lembaga pendidikan lainnya. Sehingga proses belajar justru menitikberatkan pada output yang bersifat kuantitas. Peduli apa jika siswanya mati-matian belajar secara verbalistis hanya untuk menjawab soal tanpa memahami esensi dari apa yang diajarkan.

Pernyataan ini bukan tanpa sebab. Selama UN dilaksanakan, sekolah bertindak layaknya penyaring kesalahan siswanya. Berupaya menutupi “aib” yang bakal merugikan nama sekolah. Kualitas sekolah akan menurun dan pengaruhnya beberapa tahun ke depan. Lantas apakah pendidikan seperti itu yang diimpikan?

Soalan di atas bukan sepenuhnya menyalahkan sistem yang telah berjalan. Namun berupaya mengusik kealpaan. Bagaimana jika sistem tersebut dimodifikasi sedemikian rupa hingga menghasilkan sistem yang diharapkan lebih baik? Barangkali kemunculan asesmen nasional (AN) dimaksudkan sebagai pengganti untuk memperbaiki pendidikan kita.

Jika dilihat sepintas, konsep AN memiliki perbedaan yang mencolok ketimbang UN. AN terbagi menjadi tiga elemen yang diujikan yaitu asesmen kompetensi minimum (AKM) yang memuat tes literasi dan numerasi, survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Namun, akankah konsep ini tidak mengulang apa yang telah ada pada UN dan membawa harapan baru?

Salah satu permasalahan yang paling menonjol dalam UN adalah tingkat kesulitan soal yang diujikan pada tiap sekolah yang nisbi sama. Tanpa mengindahkan fasilitas dan kemampuan masing-masing sekolah. Padahal antara sekolah di pedalaman dan perkotaan mempunyai jurang ketertinggalan yang dalam. Sekolah di pedalaman bekerja keras dalam pembelajaran hanya dengan sarana dan prasarana seadanya. Lalu tiba-tiba di penghujung masa sekolah siswa diujikan dengan soal yang tidak ia mengerti.

Secara detail kita belum mengetahui apa yang akan dihadirkan AN. Tapi tes literasi dan numerasi tampaknya menjadi yang utama dalam mengukur kemampuan siswa. Andai apa yang dihindari di UN kemudian terulang kembali. Semua siswa dihadapkan dengan jenis soal yang sama. Tidak peduli dari mana siswa berasal. Tentu hal ini tak ada bedanya. Hasilnya siswa-siswa yang tertinggal secara fasilitas dan kualitas belajar mungkin akan mendapat nilai yang rendah. Apakah hasil yang jelek tidak akan mencoreng nama baik sekolah?

Merujuk penuturan Nadiem Makarim, tidak ada konsekuensi atas hasil dari AN terhadap siswa dan sekolah. Pernyataan ini membawa angin segar bagi segenap pelaku pendidikan. Terlebih pada siswa itu sendiri. Bagaimanapun juga, hal-hal buruk yang berujung pada siswa menjadi prioritas untuk dihindari. Akan tetapi, apakah pemerintah bisa menjamin tak ada konsekuensi tak terduga yang barangkali nanti hadir?

Perihal lain yang perlu dibahas adalah mengenai peran guru di dalamnya. AKM yang menguji kemampuan membaca dan berhitung siswa akan jauh lebih mudah. Setidaknya siswa tidak lagi dibebankan menguasai materi beberapa mata pelajaran. Bahkan cenderung lebih mudah jika guru memainkan perannya dengan tepat.

Masalahnya kemudian terletak pada guru, sekolah, dan orang tua. Tidak mudah menempatkan seseorang dalam rumah baru sedangkan ia sudah merasa nyaman dengan rumah yang lama. UN adalah rumah lama yang diakui masih banyak orang menyukainya, meski bersimbah kotoran di dalamnya. Kedua jenis ujian ini mempunyai karakter yang jelas berbeda. Penerapan AN menjadi rumit jika sekolah–khususnya guru–memilik cara pandang yang sama terhadap keduanya. Parahnya lagi kalau diperlakukan dengan sama pula.

Menteri Pendidikan menyatakan bahwa tidak perlu ada perlakuan khusus dalam mempersiapkan siswa menghadapi AN. Biarkan berjalan secara alami dan jujur. Akan tetapi sejak keputusan AN dilontarkan, sudah banyak bertebaran di internet dan media sosial pembahasan soal-soal AKM berikut kiat-kiat menjawabnya.

Padahal UN dihapus agar segala hal yang mengandung detail pemberatan pada siswa hilang. Namun yang terjadi sikap kita malah memandang AN sebagai kesulitan baru yang mesti segera diselesaikan. Mempersiapkan siswa menjawab soal AN tidak ubahnya melatih mereka ke medan perang. Sebagaimana pengalaman sebelumnya, UN adalah perang bagi siswa demi kelulusan dan pamor sekolah.

Sekadar mengingatkan, ada masa-masa di mana siswa dituntut dengan les tambahan, bimbingan belajar, try out, serta doa berjamaah demi kelulusan. Masa yang sakral dan tegang bagi siswa. Perkara itulah yang diinginkan akan hilang jika AN diterapkan. Namun tampaknya perlu upaya lebih. Kita masih memandangnya dengan cara yang sama.

Guru dan perannya sangat menentukan di sini. Apa pun hasil yang diraih sekolah menjadi umpan balik bagi guru dalam pembelajaran peserta didik. Jika guru menanggapi AN apa adanya, tanpa ada perasaan negatif jika kelak hasil yang diperoleh tidak sesuai kehendak. Ini akan menyadarkan kita bagaimana seharusnya metode pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa. Namun jika timbul persiapan yang terencana bagi siswa untuk menjawab soal-soal AN, melatih mereka dengan pertanyaan yang tidak biasa mereka hadapi, mengarahkan bagaimana membaca soal guna meningkatkan kecepatan menjawab, menentukan mana jawaban yang tepat, memilih mana opsi yang berisi poin tinggi, dan hal lain yang terkandung di dalamnya, kenapa tidak kita gunakan beberapa tahun waktu mereka di sekolah hanya dengan materi seperti itu tanpa putus?

Kendalanya adalah seakan ada pemisah antara proses pembelajaran dan evaluasi (katakanlah UN). Selalu ada penambahan jam belajar untuk modal menjawab soal kendati siswa sudah menerima materi pembelajaran sebelumnya. Seolah jam pelajaran yang normal tidak cukup dan sia-sia belaka.

Hadirnya AN mencoba menjawab kesulitan yang kita alami selama ini. Apabila kita melihat ada unsur kemudahan bagi siswa serta melepas beban berat di pundak mereka, untuk apa susah payah mempersulit sesuatu yang sudah dirancang sederhana. Memang tidak ada jaminan bahwa AN adalah cara terbaik. Akan tetapi ini salah satu solusi terbaik yang kita punya.

Intinya, interaksi dalam pembelajaran normal antara guru dan peserta didik adalah yang paling penting. Baik sebagai persiapan siswa menghadapi AN maupun evaluasi guru terhadap hasil yang didapat. Menggunakan waktu secara optimal dalam jam pelajaran juga harus disertai dengan kualitas pembelajaran bagi peserta didik. Adanya les tambahan dan bimbingan belajar yang disusun untuk mencapai tujuan pembelajaran malah menandakan ketidakcakapan kita sebagai guru dalam mengelola kelas. Bukan berarti les-les itu tidak baik, namun kecenderungan penambahan jam belajar tidak menyasar kepada peningkatan pola dan daya pikir siswa, tujuannya lebih condong demi deretan soal yang membingungkan mereka, juga saya sepuluh tahun lalu.

Momentum ini layak untuk dirayakan dengan cara refleksi diri. Sebab secara eksplisit AN adalah cerminan kehidupan pendidikan kita. Semakin kita sadar akan kekeliruan yang ada, semakin kencang usaha kita memperbaikinya, bukan malah merusaknya.

 

 

Sumber rujukan:

Postman, Neil. 1996. The End of Education: Redefining the Value of School. New York: Vintage Books

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NAFSU YANG MEMAKAN

ULASAN FILM - ZIARAH

ULASAN FILM - IMPERFECT