NAFSU YANG MEMAKAN
PERIHAL MENCINTAI DIRI
“Tidak apa-apa
gemuk, yang penting sehat.” Itu ucapan seorang remaja yang membuat ingatan saya
melompat jauh ke hampir dua puluh tahun yang lalu. Pernyataan yang juga saya
yakini waktu itu, bahwa gemuk adalah lambang kesehatan. Namun usia dan
pengalaman lah yang mengoreksi itu semua. Kegemukan ternyata adalah ibu kandung
dari berbagai penyakit.
Remaja yang
membuat pernyataan tadi memang memiliki tubuh yang gemuk. Akan tetapi saya bisa
menduga bahwa ketika saya seusianya, badan saya jauh lebih besar dan berat.
Saya adalah siswa paling besar di kelas dan juga di sekolah; bahkan jika
dibandingkan dengan guru-guru saya. Kenyataannya, saya selalu paling besar di
setiap sekolah yang saya tempati. Lebih tepatnya, saya manusia paling besar
sekampung.
Kalimat awal
pada tulisan ini sebenarnya adalah kepercayaan yang turun temurun diwarisi oleh
kebanyakan orang tua kita. Sebagian besar kita menganggap bahwa seorang anak
yang gemuk menandakan ia sehat. Sebaliknya, anak yang kurus kering terlihat
selalu memprihatinkan. Sehingga akhirnya lahir ungkapan, “Banyak-banyak makan,
biar cepat besar.” Itulah yang saya lakukan sejak usia delapan tahun. Sebab
ketika saya balita sebelumnya, tulang-tulang rusuk saya menyembul keluar, hanya
dibungkus kulit. Sebuah pertanda bahwa anak seperti saya mesti segera
ditangani.
Kegemukan selalu
menyertai sepanjang hidup saya. Bahkan ketika menulis ini, saya masih berjuang
dengan berat badan. Selama saya mengalami obesitas, banyak hal-hal buruk yang
mulai saya rasakan. Dimulai dengan tulang yang cedera hingga patah saat
menopang tubuh, beberapa persendian yang sudah rusak, organ dalam yang terasa
mulai berbeda, hingga puncaknya lambung saya seperti menolak lagi untuk dijejal
dengan makanan yang banyak, dan itu terasa sakit sekali. Sejak saat itu, saya
mempertanyakan, bukankah saya gemuk, berarti saya sehat, kan? Namun nyatanya
tidak.
Saya mulai
mencari jawaban kenapa ini semua terjadi. Saya membaca alasan-alasan yang
menyebabkan tubuh saya seperti enggan mengecilkan diri. Kemudian menelisik
lebih jauh asal mula dari rasa sakit yang kerap saya alami, serta rasa sakit
lain yang mulai dan belum saya rasakan. Semuanya selalu berujung pada kata
obesitas, dan selalu menyertakan kata itu. Akhirnya saya sadar, saya harus
melawan. Meski ada pernyataan di dalam kepala, apakah ini sudah menjadi takdir
saya?
Bagi mereka yang
tidak mempunyai isu tentang berat badan, mungkin ini terkesan melebih-lebihkan.
Tapi pada kebanyakan penderita obesitas, keinginan untuk menjadi kurus itu
layaknya mimpi mencapai surga. Saya yakin, orang gemuk pasti ingin kurus. Tidak
ada enaknya berjalan dengan nafas berat. Bukan suatu keuntungan ketika
benda-benda di rumah sering patah demi menahan tubuh kita. Tentunya, sebuah
kerugian saat kita kesusahan mencari baju, celana, sepatu dan perkakas lain
yang sesuai dengan ukuran kita. Itu bukan hanya kerugian, itu semua menyiksa.
Dan kita – terutama saya – lebih manut pada yang kita sebut nafsu.
Sesungguhnya,
kenikmatan ketika menyantap dua bungkus mie instan, atau dua piring nasi
lengkap dengan lauk pauk menggiurkan, hanya berlaku untuk lidah saja. Sedangkan
anggota tubuh yang lain bekerja keras untuk melayani nafsu makan kita yang luar
biasa. Ya, dan ini kenyataan yang semua orang sepertinya sadar, namun enggan
menyikapinya. Saya, terutama, hampir setiap hari melahap mie instan lengkap
dengan nasi. Itu sudah menjadi menu sarapan. Sialnya mie instan yang masuk ke
perut belum bisa memberikan kepuasan. Siang hari, suguhan lauk yang nikmat
memaksa saya mengisi piring dengan porsi lebih. Di malam hari, ritual ini
kembali terjadi. Sekarang saya mengingat perlakuan saya pada tubuh. Saya
terlalu banyak makan. Saya terlalu menuruti keinginan untuk makan. Saya tidak
sadar begitu menzalimi lambung, usus, serta anggota tubuh yang lain.
Kita tampaknya
memang banyak makan. Melampaui kebutuhan yang diperlukan oleh tubuh. Padahal
jika disadari, tubuh kita terlalu cerdas untuk bisa bertahan. Sejatinya tubuh
kita memang diciptakan untuk lebih sering merasakan lapar. Namun nafsu kita
berontak, menuntut untuk dilayani. Alhasil, kita sering mendengar ucapan orang,
“Makanlah sepuasnya, kelak ketika tua sudah tidak bisa lagi makan banyak.” Saya
berani mengatakan perilaku ini sangat keliru.
Jika dicermati,
anggota tubuh kita memang menyesuaikan dengan berapa usia kita. Tapi tidak
berarti kita berhak menghunjam organ-organ dalam tubuh dengan serbuan aneka
makanan dalam porsi luar biasa. Apabila ada penyakit yang kita alami ketika
sudah renta, itu mungkin peralatan dalam tubuh kita memang sudah mencapai batas
kerjanya. Akan tetapi, bisa jadi itu juga dikarenakan sikap abai dan tidak
menghargai tubuh kita dengan memakan apapun yang menarik. Jantung dan organ
yang lain juga perlu perlindungan. Jika terus dicecar dengan nafsu makan yang
brutal, mereka juga kepayahan. Kita sendiri juga merasa ketika terus menerus
diforsir untuk berkerja, kelelahan pasti terjadi. Itu juga yang dialami anggota
tubuh kita. Sayangnya, mereka tidak berteriak untuk memberi peringatan, mereka
memberikan rasa sakit yang luar biasa pada kita, agar kita sadar.
Intinya, kita –
lebih tepatnya saya – makan terlalu banyak. Budaya kita tidak sejalan dengan
keinginan tubuh yang sebenarnya. Keyakinan-keyakinan lama kita mesti diubah.
Anjuran orang yang menyebut nikmati hidup dengan makan semau kita menurut saya
perlu dikaji. Tidak ada kebebasan tanpa batasan, terlebih untuk tubuh kita
sendiri. Kita harus membatasi keinginan yang berlebih. Dan kita tahu bahwa
berlebihan memang tidak baik. Ini sebenarnya tidak hanya berlaku untuk
orang-orang gemuk, namun juga mereka yang makan sekendak hati namun tubuhnya
seakan sehat dan ideal saja. Sekali lagi, kita tidak tahu dan tidak akan tahu,
sampai akhirnya rasa sakit yang memberikan peringatan. Ketika itu terjadi, kita
sedikit terlambat, namun tidak sepenuhnya terlambat. Kita masih bisa berupaya
selagi masih hidup. Makan secukupnya saja.
Komentar
Posting Komentar