ULASAN FILM - IMPERFECT
IMPERFECT (2019)
Di balik tawa yang meledak di seantero
ruang bioskop, Ernest Prakasa ingin menyentil bagaimana kehidupan “orang-orang yang
tidak normal” kerap kali ditertawakan. Saya merasa dekat dengan film ini. Bukan
hanya karena pengalaman hidup, tapi lantaran ceritanya menghendaki demikian. Imperfect berujar dengan penuh humor yang
menghibur, tapi setiap tawa yang keluar dari mulut saya, itu seperti manis gula
yang tahan hanya beberapa saat di lidah. Setelahnya, akan ada adegan-adegan
yang menguasai dan memadankan dengan ingatan saya. Sebuah rasa
ketidaksempurnaan.
Sejak kecil, Rara (Jessica Mila)
sudah merasakan percikan ketidakadilan terhadap dirinya. Dengan perawakan gemuk
yang ia miliki, wajar jika “orang-orang yang berada dalam standar keindahan
bentuk tubuh” ini sering meledek. Yang Rara rasakan hampir mendekati masa kecil
saya, saya lebih beruntung dibanding Rara, yang sialnya ibunya sendiri acap
kali seperti menyudutkan Rara. Lebih-lebih kehadiran adiknya membuatnya berada
jauh dari garis kebagusan. Menghimpitnya dalam sudut keterasingan. Begitu dekat
dengan ayahnya membuat Rara begitu kehilangan akan kematian orang yang selalu
mendukung kehidupannya dan tentunya, satu-satunya orang yang tidak mempermasalahkan
tubuh besarnya.
Masa remajanya pun tidak banyak
berubah. Masih berkutat dengan ejekan (body shaming). Masa yang bagi saya,
adalah masa-masa di mana setiap pergerakan dan kehadiran saya seperti
diperhatikan banyak orang. Tidak dalam artian positif dan kekaguman, melainkan perhatian
dalam sisi negatif dan pandangan sebelah mata. Di film ini memang kehidupan
remaja Rara tidak banyak diceritakan, namun saya bisa menerka dan menyelami
sendiri bagaimana kehidupannya berjalan.
Sampai pada tahap yang lebih jauh,
Rara dewasa. Mungkin saya boleh berpendapat bahwa Rara berada dalam lingkup
pekerjaan yang tidak tepat. Lingkungan kerja yang banyak dikelilingi oleh manusia
dengan tingkat kesempurnaan bentuk tubuh di atas rata-rata. Menjadikannya berjalan
dalam taman bunga mawar, indah tampak dalam penampilan, namun acap kali
tertusuk duri cemoohan. Ketiadaan ayahnya tergantikan oleh sosok Dika (Reza
Rahadian) sang pacar yang amat tulus mencintainya, juga Fey (Shareefa Daanish)
yang selalu setia menemani dan menjadi teman bicara yang konyol. Kedua orang
ini paling tidak menyisakan harapan bagi Rara untuk terus melanjutkan cita-cita
dan pekerjaannya. Sikap Rara sebenarnya tidak menunjukkan adanya gejala untuk
menyerah dengan keadaan. Dia sangat mencintai pekerjaannya. Tetapi, suasana
sering kali menjatuhkan rasa percaya dirinya. Ya, seperti itulah bullying bekerja, terkesan sepele namun
perlahan membahayakan.
Sebuah loncatan kemudian didapatkan
oleh Rara. Karir pekerjaannya akan naik lantaran kekosongan jabatan manajer. Pak
bos yang diperankan oleh Dion Wiyoko menginginkan Rara menduduki jabatan ini,
sebab kiprahnya selama ini patut dihargai. Hanya, kondisi fisik menghalangi itu
semua. Sebuah perusahaan komestik tidak mungkin dipimpin oleh seorang perempuan
dengan perawakan yang tidak menarik. Rara ingin sekali mencapai level ini. Alhasil,
sebuah syarat diajukan Si Bos untuk menjamin kedudukannya. Mengubah keadaan
yang sekarang, menjadi enak dipandang. Mengubah masa lalu yang mengesalkan, ke
keadaan yang dia sendiri belum tahu akan seperti apa. Kelak, perubahan yang ia alami
tidak hanya menyasar kondisi fisiknya, namun lebih dari itu.
Rara sebelumnya adalah perempuan
pintar yang dibungkus penampilan fisik acak-acakan, tanpa dandanan, tanpa pakaian
mentereng, tanpa kepedulian orang-orang. Kini menjelma menjadi wanita cantik,
ramping, berbaju menawan dan derap langkahnya adalah magnet bagi mata laki-laki.
Ia dulunya dianggap angin lewat, sekarang menjadi pusat perhatian. Semua mata
kini tertuju padanya. Seketika orang-orang bergerak mendekatinya, memuji
kecantikannya, mengagumi lekuk tubuhnya. Tidak ada lagi Rara yang tambun. Hilang
sudah Rara yang tidak bisa bersolek. Kini hadir Rara baru yang lebih aduhai. Muncul
perempuan anggun dalam dirinya. Namun sedihnya, Rara yang dulu hampir tidak tersisa
sama sekali. Semuanya lenyap bersamaan dengan perubahan itu. Lambat laun ia tidak
lagi menjadi Rara yang menjalani usia dewasanya. Seorang perempuan baru telah lahir.
Meninggalkan kenangan yang menjengkalkan, pula orang-orang yang berada di
sisinya selama waktu yang sulit.
Perubahan itu memberikan pengaruh
yang besar bagi kehidupannya. Namun yang ada malah Rara kehilangan apa yang
benar-benar ia pegang. Tampak terlihat, kecantikan yang hadir justru sedikit
memudarkan kepeduliannya pada sekitar. Ia memang mencapai yang ia impikan. Namun
Dika dan Fey merasakan dampak ini. Keberhasilan Rara adalah kesedihan bagi
keduanya. Mendapati wanita baru ini, Dika seakan telah kehilangan kekasihnya
secara utuh. Fey tak lagi mempunyai teman ngobrol dan teman makan siang. Rara,
seorang manajer yang sibuk dengan rutinitasnya.
Bagian terakhir adalah hal paling
saya sukai dalam film ini. Ernest dan Meira tidak menaruh kesimpulan yang barangkali
bisa membuat condong salah satu bagian. Rara adalah saya. Setidaknya saya merasa
demikian. Saya, dengan segala ketidaksempurnaan yang dimiliki, justru berujung
pada suatu kata yakni “bersyukur”, dan Rara pun begitu. Ada momen ketika saya dulu
menyalahkan perut yang bergelambir. Persis seperti adegan di mana Rara ingin
menyayat perutnya. Atau waktu di mana segala keresahan dan kegalauan Rara berakhir
pada cokelat dan makanan. Hal yang sama juga saya alami. Sekali lagi, film ini
begitu personal bagi saya. Film yang dekat secara personal akan membekas dan selalu
terngiang-ngiang dalam ingatan.
Rara berubah dan menyadari betul perubahan
ini sungguh keterlaluan. Ia bahkan tidak mengenali dirinya sendiri. Ernest
tidak menghilangkan Rara yang dulu. Sebab masih ada secuil kesadarannya. Bagaimanapun
juga, kecantikan bukan kesudahan masalahnya selama ini. Penampilan fisik tidak
serta merta menjadi solusi dari setiap kesulitan yang ada. Percuma jika apa yang
ingin dicapainya malah tidak membahagiakan hatinya. Rara terbangun dalam utopia
kesempurnaan yang dipatok sekalian umat manusia. Bahwa manusia yang punya tubuh
memikat akan mendapatkan apa yang diinginkannya adalah omong kosong. Bahwa kecantikan
adalah standar diterimanya seseorang dalam pergaulan khalayak hanyalah ungkapan
bodoh. Rara tidak bahagia dengan dirinya. Kecantikan tidak menjamin hati orang
menjadi cantik pula.
Ernest adalah seorang komika. Tidak mungkin
unsur komedi tidak hadir dalam Imperfect.
Kehadiran beberapa karakter yang kuat memancing gelak tawa benar-benar
menjadikan film ini begitu seimbang. Tokoh-tokoh lucu ini juga bukan hanya
sekadar tempelan. Ernest menempatkan semua hal tanpa mengesampingkan fungsi
kehadirannya. Lewat orang-orang inilah, Imperfect
menjadi lebih sederhana dan nyata. Bicara karakter, Jessica Mila cukup baik
menjadi Rara. Meski ada potensi yang lebih jika Rara diperankan oleh orang yang
tepat. Sedangkan Reza, tidak usah dibicarakan lah penampilannya. Ia adalah aktor
sejuta umat. Ia bisa membuat film yang tak begitu baik menjadi naik derajatnya.
Terakhir, tidak ada yang bisa saya
ucapkan selain terima kasih. Film ini adalah wujud kehidupan yang saya alami. Ketika
Rara kembali pada dirinya sendiri, saya kemudian tersenyum. Lalu bertanya
beberapa hal, apa jadinya jika saya mempunyai postur tubuh yang dianggap
standar oleh kebanyakan orang? Apa jadinya jika sedari awal Rara adalah gadis
ceria berpenampilan menarik dan cantik? Apakah ia bisa mencapai apa yang ia
peroleh? Apakah ia bisa mendapatkan kekasih baik seperti Dika, atau teman
konyol macam Fey? Apakah kehidupan yang ia alami berjalan mulus tanpa ada
kendala?. Tidak, saya berani menjawab tidak. Sebab jalan kehidupan seseorang
beriringan dengan kesanggupannya untuk menjalani. Satu hal yang paling penting,
akan selalu ada orang-orang yang memandang remeh seseorang seperti Rara.
Beruntung Rara bisa menghadapi itu semua. Beruntung saya juga bisa menjalaninya.
Sebelum menulis catatan ini, ada
kejadian yang saya alami. Seorang anak kecil berbadan gemuk mengungkapkan
ketidakinginannya melanjutkan sekolah. Saya tidak tahu penyebabnya apa dan
kenapa. Yang jelas anak kecil ini mengingatkan saya akan masa lalu dan Imperfect. Mungkin saja ia sering
diledek, diejek dan diremehkan. Muncul kekhawatiran tersendiri, entah saya
bersikap terlalu berlebihan atau tidak. Yang pasti, anak kecil ini pendiam dan
tak banyak bicara. Harapan saya semoga ia berhasil menjalani kehidupannya. Menghadapi
ejekan dan sikap orang-orang. Sikap orang-orang yang gemar menyudutkan dan mengolok.
Kebanyakan orang mungkin tidak sadar akan ucapannya. Tapi cemoohan adalah
senjata berbahaya ketimbang pisau dan pedang tajam. Itu sepertinya yang ingin
disampaikan Ernest dan Meira dalam Imperfect.
Supaya kita tidak lagi memandang seseorang dari apa yang terlihat oleh
mata. Agar kita tidak lagi memberlakukan standar kecantikan/ketampanan
seseorang. Supaya kita melihat seseorang berdasar adab dan otaknya. Bukan lagi look dan luxury. Sehingga nantinya, orang terpacu untuk meningkatkan
kualitas diri dan karakternya, tidak lagi fokus pada apa yang dinilai orang lain
pada tubuhnya. Mungkin seperti itu.
Sumber Gambar : Starvision Plus
Komentar
Posting Komentar