MASWANA DAN CERITA-CERITA
“Barangkali Maswana diculik jin”. Ada pikiran semacam itu yang hinggap di kepala Sarnah. Entahlah, ataukah ia juga kehilangan akal lantaran anaknya belum juga pulang padahal dingin angin malam kian menggigit. Ia juga bingung harus berbuat apa, karena mungkin anaknya memang benar-benar diculik jin. Sementara sampai ujung manapun mereka mencari, itu hanya akan buang-buang keringat.
Maswana, anaknya,
belum juga diketahui pasti kabar raganya. Orang-orang gaduh semenjak ibunya
berteriak “Maswana hilang, Maswana hilang”. Pekikan histeris membelah malam yang
seketika membuat jantung terkejut. Untung saja bayi-bayi tetangga tidak ikut
terbangun. Beberapa lelaki dewasa seketika berkumpul mendatangi suara tersebut.
Sarnah berdiri seperti orang kebingungan, ia gelisah dan air matanya seperti
hendak tumpah. Di samping, seorang lagi anak lelakinya berusaha menenangkan. Sarnah
terduduk kehilangan kata-kata. Sementara Haji Badrun, guru ngaji Maswana yang
berdiri di depan pintu juga berusaha untuk tidak membuat Sarnah sedih berlebih.
Teriakan itu
adalah satu setengah jam yang lalu. Ketika Nuwan kembali dari rumah Haji Badrun
untuk mengetahui kenapa sampai larut malam seperti ini, adiknya belum juga
pulang ke rumah. Sebagaimana biasanya, setengah jam yang lalu Maswana seharusnya
sudah berada di rumah, sekembalinya dari rumah Haji Badrun , belajar
mengaji bersama teman-temannya. Tetapi,
di saat Nuwan tiba di rumah Haji Badrun, Maswana dikabarkan telah pulang
bersama sepeda butut kesayangannya. Nuwan terkejut, lalu menyatakan bahwa Maswana
tidak ada sama sekali di rumah. Haji Badrun lebih terkejut lagi. Ia melihat
sendiri Maswana pulang beriringan dengan kawanannya, setiap malam seperti itu,
termasuk juga malam dimana Nuwan mendatangi Haji Badrun dengan menanyakan
dimana Maswana. Haji Badrun kelihatan tergesa-gesa, seraya mengencangkan ikatan
sarungnya ia berkata “Kita cari saja dia”. Bersama Haji Badrun, Nuwan kembali
ke rumah membawa berita tentang Maswana. Kabar itulah yang membuat ibunya
memekik keras seakan yakin bahwa Maswana sesungguhnya telah hilang.
Belasan orang
sekonyong-konyong hadir saja di depan rumah Sarnah. Mereka sama terkejutnya
seperti Haji Badrun. Layaknya kehadiran pertunjukan dari kota yang datang ke
kampung mereka dua hari yang lalu, mereka berkumpul saja mendengar apa yang
terjadi sebenarnya. Padahal malam sudah menggapai puncak kegelapan dan sunyi.
Namun sayang, teriakan itu seketika melenyapkan sunyi yang sudah ingin
dinikmati oleh bapak-bapak yang lelah seharian bekerja. Teriakan itu adalah
teriakan Sarnah, anaknya hilang katanya.
Sudah lima menit
sejak Sarnah histeris, Haji Badrun angkat bicara “Sebaiknya kita berpencar
mencari Maswana”. Segera saja orang-orang berhamburan untuk segera menemukan
anak itu. Mereka sebagian ada yang pergi ke hilir kampung, sebagian lagi ke
hulu. Maswana pasti ada di salah satu sudut kampung, tidak mungkin tidak, bisa
di rumah temannya atau warung jajanan yang masih buka. Seketika Sarnah melihat
orang-orang hilang dimakan gelap, hatinya berdoa semoga saja mereka membawa Maswana
dari balik gelap malam itu. Harapannya beradu dengan rasa gelisah menunggu
kabar orang-orang.
Bukan tanpa
alasan kenapa wanita ringkih itu sebegitu histeris dan khawatir. Dua minggu
sebelumnya, Andini, seorang gadis kecil ditemukan pulang dengan badan penuh
lendir serupa baru dijilat anak-anak sapi atau juga kawanan ajak. Itu tepat dua
hari setelah warga kampung mendapati kabar hilangnya gadis tujuh tahun itu.
Orang tuanya jadi gila dan seketika sakit selama dua hari karena anaknya hilang
tanpa ada yang mengabarkan anak itu mati atau juga disekap penjahat, tapi
kampung mereka tidak punya penjahat, tidak juga berisi pembunuh. Sehingga pada
hari anak itu pulang tanpa sandal dan dengan badan penuh cairan kental,
orang-orang percaya anak itu dibawa ke alam lain, “Andini diculik jin” kata
teman-teman sebayanya. Hal itu diperkuat ketika Andini sudah mulai bisa
berbicara setelah satu hari bisu tanpa kata-kata. Ia mengaku melihat rumah
besar seperti istana lengkap dengan orang lalu lalang, setelah itu ia pulang,
begitu saja, singkat selama dua hari.
Orang kampung
memang percaya, tempat mereka tidak hanya dihuni oleh para manusia. Ada
orang-orang yang tidak bisa dilihat oleh mata. Kurang lebih seperti itu kata-kata
yang diajarkan para orang tua kepada anaknya agar berhati-hati dan segera
pulang kalau masjid mulai mengaji. Pun dengan orang tua Andini, juga tidak lupa
menesehati anaknya untuk tidak bermain sampai magrib tiba. Sebabnya, tidak ada
tempat tertentu yang dilarang untuk dikunjungi seperti biasanya setan-setan
bersembunyi, di pohon beringin, di bawah jembatan atau di tengah-tengah rumpun
bambu serta belakang rumah warga. Kampung mereka berbeda, setan-setan dan jin
nampaknya tidur dimana saja mereka suka. Orang-orang gaib itu seperti tidak
punya tempat tertentu untuk membangun keluarga mereka sendiri. Hingga pada
akhirnya, kehati-hatian saja yang bisa diajarkan oleh manusia untuk tidak
berurusan dengan para setan. Sialnya, Andini lupa dengan nasehat orang tuanya
dan juga lupa dengan setan-setan yang dalam benaknya berbadan merah, bertanduk,
dan sebagiannya bertaring yang diajarkan ayahnya. Tambah sial, Andini bermain
petak umpet sampai hari berwarna kuning bersama anak-anak kecil yang lain, dan
setan ataupun jin itu lebih memilihnya ketimbang anak lain.
Kepulangan
Andini itulah yang membuat Sarnah khawatir nasib Maswana sama seperti anak
gadis itu, atau tambah lebih parah. Syukur apabila makhluk itu sudi mengembalikan
anaknya dan hanya sekedar menjilati sekujur tubuhnya, bagaimana jika ia hilang
dan tidak pernah kembali? bagaimana jika jin-jin itu senang dan bahagia dengan
kehadiran keluarga baru mereka?. Tidak, lekas saja Sarnah membuang jauh-jauh
pikiran semacam itu. Ia tidak mau anaknya diambil dan jadi anak orang lain,
apalagi anak jin. Ia hanya punya dua anak dan tanpa suami yang menghidupi
mereka karena meninggal tujuh tahun yang lalu. Kalau sisa hidupnya hanya
didampingi Nuwan, tambah sengsara saja hidup, pikirnya.
Maswana anak
bungsu, anak kesayangan pasti. Ia baru saja anak kecil yang hendak menuju
remaja. Ia juga diajarkan Sarnah untuk waspada ketika pulang malam dari rumah Haji
Badrun. “Baca ayat kursi” katanya setiap kali Maswana mau berangkat selepas
Isya. Maswana juga tidak lupa dengan ritual itu, setidaknya bisa menangkis
setan atau jin yang menggapai-gapai tubuh atau sepedanya sepanjang jalan. Tapi Sarnah
merasa yakin, malam itu Maswana lupa membaca sesuatu walau hanya bismillah.
Dalam penantian
terhadap Maswana dan para tetangga, wanita paruh baya itu melempar liar
pikirannya tidak tentu tuju. Otaknya tidak lagi bisa berkompromi untuk sekadar diam
tenang dan sabar sembari menunggu kabar dari orang-orang. Pikirannya berjejal
kemungkinan-kemungkinan dan hal-hal terburuk yang bisa saja terjadi pada bocah
itu.
“Mereka datang
bu”, bisik Nuwan pada ibunya setelah melihat segerombolan orang dari hulu
bergerak cepat seperti tentara hendak menyerang Belanda. Mata Sarnah sedikit
cerah, berharap dalam gerombolan itu mereka membawa Maswana. Langkah mereka
kian mendekati wanita dan pemuda yang masih meringkuk duduk di depan rumah.
Langsung saja, ketika gerombolan itu tiba dengan terengah-engah, mata Sarnah
berburu tubuh anaknya. Tapi sayang, langkah terakhir mereka sama saja dengan
kekecewaan wanita itu, Sarnah tidak menemukan apa yang ia cari. Para tetangga
hanya datang dengan membawa kalimat “Kami tidak menemukan apapun”, wajah Sarnah
berubah seketika.
Tiga puluh menit
yang ia tunggu hanya berakhir pada kalimat yang ia sendiri tahu tanpa harus
diutarakan. Bapak-bapak dari hulu sebenarnya juga tidak mau pulang hanya
membawa badan sendiri. Tapi apa mau diucap, setiap jengkal tanah mereka cari
bahkan sampai mengetuk rumah-rumah warga, Maswana entah dimana.
Belum selesai
rasa kecewa perempuan itu, Haji Badrun beserta rombongan bergerak dari hilir. Semoga
saja diantara langkah kaki mereka termasuk juga kaki anaknya, ini adalah
harapan terakhir perempuan itu, ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Sekejap, Haji
Badrun datang dengan wajah penuh peluh dan orang-orangpun sama. Dengan nada
penyesalan Haji Badrun berkata “Kami sudah mencari ke rumah temannya dan
bertanya dengan kawan-kawan mengajinya, mereka tidak tahu bu”. Lagi-lagi
kalimat yang hanya membuat batinnya tambah sengsara. Tidak bisakah mereka
datang dengan diam tanpa harus disertai penuturan yang menyimpulkan, Maswana
benar-benar hilang.
Sarnah tidak
bisa lagi menahan tangis. Ia meraung membangunkan ibu-ibu dan bayi-bayi. Suasana
menjadi semakin riuh dan orang-orang memasang muka khawatir yang sama. Jangan
sampai Maswana bernasib seperti anak-anak yang dulu dibawa untuk melihat
istana. Karena bagaimanapun juga, anak-anak yang pernah dibawa setan berkunjung
ke rumah mereka menampilkan perilaku yang tidak biasa, ada yang gila ketika
dewasa, ada yang saban hari tertawa tanpa lelucon, sedang kasus Andini, anak
gadis yang berlumuran cairan itu belum juga banyak bicara semenjak
kepulangannya. Ia hanya bicara sekali tentang bagaimana ia berkelana, setelah
itu ia bungkam nyaris melebihi orang bisu.
Haji Badrun
tiba-tiba bersuara “Lebih baik kita panggil Abah Diman”. Semua orang setuju
termasuk juga Sarnah yang sepertinya pasrah dan percaya hanya itu harapan
satu-satunya. Tanpa diminta, seseorang beranjak dan lekas ia pergi untuk
menjemput lelaki tua itu.
Abah Diman tahu
tetek bengek dengan alam lain dan para penghuninya. Ia dipercaya mampu bercakap
dengan orang-orang yang sudah tiada dan juga setan-setan dan jin-jin. Ia bahkan
mempunyai beberapa teman dari mereka. Ia tidak mau disebut kyai, orang pintar,
apalagi dukun atau paranormal. Warga kampung sering meminta disembuhkan ketika
penyakit mereka tidak bersahabat dengan puskesmas atau mantri desa.
Demikianlah,
Abah Diman datang dengan senter besi di tangan kanannya. “Aku juga tidak tahu
dimana anakmu berada, kucari dan kutanyakan pada mereka, mereka tidak menculik
anakmu” Abah Diman yang baru saja datang tiba-tiba berkata seperti tahu apa yang terjadi dan sedang mengatasi
masalahnya. Tapi seperti apa yang dikatakan Abah Diman, ia juga bertanya pada
kawanan setan kenalannya, mereka tidak merasa mencuri anak manusia.
Maka, semakin
rumit saja apa yang barusan terjadi. Kalau Abah Diman sendiri juga tidak tahu
keberadaan anak itu, siapa lagi yang bisa memastikan apakah ia ada di alam
dunia atau alam lain yang tidak bernama.
“Setan-setan itu
mungkin berbohong?”, seseorang bertanya seperti tidak percaya.
“Mereka tidak
mungkin berbohong, mereka takut jika aku memecahkan kepala mereka”. Abah Diman
meyakinkan seperti seorang bijak.
“Lalu?”
“Ia mungkin
pergi jauh dibawa makhluk yang lebih sakti, atau masih berada di dunia ini,
tapi sudah mati”
Sontak saja
pernyataan itu membuat Sarnah lebih meraung dan memekik sejadi-jadinya. Ia
tidak ingin anaknya dibawa makhluk sakti, ia tidak ingin anaknya mati. Abah
Diman tanpa memikirkan perasaannya berucap semau saja. Padahal ia tahu,
perempuan itu lebih meyerupai gelandangan dengan rambut acak-acakan. Karena
memang benar, semua orang tua mencintai anaknya. Sarnah menyayangi Maswana.
Di tengah
kondisi yang kian berat, seseorang berteriak keras “Ia datang”.
Semua mata lalu
menoleh pada suara tersebut lalu terlempar ke hilir karena satu telunjuk
mengarah ke sana. Siapa yang datang? Orang-orang bertanya pada hati
masing-masing. Lantas dalam ujung gelap yang sesekali diterangi lampu teras
rumah penduduk, seseorang sedang mengayuh sepeda dengan kecepatan yang tidak
kira. “Maswana datang”, “Benar, Bocah itu pulang”.
Dengan suatu hal
yang tidak disangka-sangka. Maswana pulang, mengayuh sepedanya dengan kecepatan
penuh. Orang-orang sigap memasang wajah bahagia karena mereka mengenali anak
tersebut, juga mengenali tunggangannya. Sarnah merangsek di antara kerumunan
dan sudah berada di barisan depan. Wajahnya yang sedih seketika riang karena ia
lebih mengenali anaknya dari pada orang-orang. Itu Maswananya, ia tidak
menunggu anaknya manghampiri tapi ia justru berlari, ia sudah sangat rindu, dan
khawatir. Ditangkapnya saja Maswana dengan pelukan yang amat kuat seolah tidak
ingin kehilangan anak itu lagi. Maswana datang dengan tubuh yang basah. Ia
tampak berbeda dibanding dengan Maswana sore hari itu dan sebelum berangkat ke
rumah Haji Badrun. Wajahnya menampilkan kebingungan, entah karena apa
orang-orangpun tidak mengetahui.
“Dari mana saja
kamu nak?”, “Kenapa badanmu basah?”, “Kenapa kamu nak?”
Seolah gagu atau
juga karena diserang pertanyaan bertubi-tubi, Maswana menjawab pertanyaan
ibunya dengan singkat.
“Aku dari salon
Tan Ian, aku harus memotong rambutku, besok ada razia rambut di sekolah.”
Sumber gambar: unsplash.com
Sumber gambar: unsplash.com
Komentar
Posting Komentar